KEHUTANAN - BUAH PIKIR PENANGANAN PERAMBAHAN KAWASAN HUTAN
Ide dasar :
- Kawasan hutan yang selalu bersinggungan dengan masyarakat sekitar kawasan
- Bersinggungan dengan masyarakat merupakan keniscayaan yang tidak dapat dielakan
- Konsep pengelolaan kehutanan yang berbasis masyarakat (contoh sukses)?
- Bersinggungan dengan masyarakat menghasilkan sebuah konflik
- Strategi penanganan perambah.
***
Kawasan konservasi di Bangka Belitung setelah keluarnya beberapa SK. Taman Hutan Raya (Tahura) pada pertengahan tahun 2016 menyisakan beberapa kawasan yang masih dibawah kewenangan pengelolaan BKSDA, yakni TWA Jering Menduyung (Bangka Barat), TWA Gunung Permisan (Bangka Selatan), dan TN Gunung Maras (Bangka Barat dan Bangka).
Tahura yang menjadi kewenangan pemerintah daerah melalui dinas terkait yakni Gunung Mangkol (Bangka Tengah), Gunung Menumbing (Bangka Barat), dan Gunung Lalang (Belitung). Sejalan dengan perubahan yang terjadi yakni perubahan kewenangan pengelolaan, permasalahan kawasan tetap sama. Sebagai contoh Kawasan Konservasi Gunung Mangkol, dapat kita lihat bersama melalui citra satelit semisal Google Earth bagaimana rusaknya kawasan tersebut. Banyak penggunaan lahan non procedural oleh oknum masyarakat yang dijadikan kebun (dominan lada, sawit, karet) dan bahkan tambang timah illegal.
Menjadi sebuah tantangan besar bagi pemerintah daerah setempat untuk dapat lebih optimal dalam mengelola kawasan. Masalah utama yang menjadi duri dalam daging di hampir setiap kawasan konservasi adalah masalah dengan masyarakat sekitar kawasannya. Tidak dapat dipersalahkan secara mutlak masyarakat, namun pemerintah yang memang harus dapat membaca situasi masalah tersebut dengan baik, hingga dapat diambil kebijakan yang tepat.
***
Lalu apa dan bagaimana ?
Sebuah keniscayaan bahwa kawasan hutan dimanapun pasti beririsan dengan masyarakat. Irisan tersebut umumnya (tidak semua) pasti membuahkan konflik, karena adanya perbedaan nilai kebutuhan antara pengelolaan kawasan hutan (khususnya kawasan konservasi) dengan kebutuhan masyarakat (yang sifatnya ekonomi).
Kerusakan-kerusakan kawasan konservasi di Bangka Belitung secara keseluruhan disebabkan adanya perambahan, baik dalam bentuk kebun, penambangan, hingga pengambilan kayu (illegal loging). Perambahan umumnya diperankan oleh masyarakat. Masyarakat melakukan perambahan karena adanya ‘desakan’ ekonomi (terlepas kebutuhan mendasar atau kebutuhan memperkaya diri), namun disamping kondisi itu, paradigma yang umum berkembang menilai bahwa sangat minimnya penjagaan kawasan.
Ada dua hal yang perlu digaris bawahi dari sebab terjadinya perambahan kawasan:
1 ‘Desakan’ ekonomi masyarakat
2 Minimnya penjagaan kawasan.
Tentu ada faktor lain yang memungkinkan terjadinya perambahan seperti ‘kemungkinan’ adanya aktor atau pihak yang menunggangi masyarakat untuk merambah kawasan, tetapi paling tidak fakta dilapangan, 2 hal tersebut yang menjadi suara dominan penyebab perambahan hutan. Hal tersebut yang sudah seharusnya dapat dibaca dengan baik oleh pengelola kawasan agar dapat melakukan pencegahan (bila perambahan belum terjadi secara massive) dan penanggulangan.
Berbicara tentang pengelolaan kawasan konservasi tentu juga berbicara tentang kewenangan dan tanggung jawab. Kewenangan kawasan konservasi tentu telah jelas diatur dalam aturan-aturan bidang kehutanan yang terkait, dimulai dari UU 41 tahun 1999, UU 5 tahun 1990, hingga permenhut tentang ortala. Singkatnya kewenangan pengelolaan kawasan konservasi selain Taman Nasional dan Tahura adalah menjadi kewenangan BKSDA. Namun perlu diketahui dan disadari, bahwa tugas dan kewenangan tunggal BKSDA dalam konteks perambahan hutan ‘hanya’ pada pengelolaan kawasan konservasi saja, tidak demikian dengan masyarakat sekitarnya.
***
Seorang ‘fulan’ diberi mandat oleh majikannya untuk menjaga dan mengelola sebuah ‘Rumah’ dan ‘Kebun’ yang luas totalnya 10 hektar. Mandat dan tugas tersebut dijalani fulan hanya seorang diri. Pada suatu saat ada sebuah kejadian, warga yang berada di sekitar rumah yang dijaga fulan, secara perlahan ikut menggarap lahan kebun milik majikan fulan, terlebih warga sekitarnya pun ikut menggunakan fasilitas rumah hingga terjadi banyak kerusakan. Tentu fulan tidak tinggal diam, namun fulan hanya seorang diri, apabila fulan menegur warga yang melakukan tindakan tersebut, besar kemungkinan akan terjadi konflik dan bukan tidak mungkin terjadi aksi anarkis, yang bisa dipastikan fulanlah yang menjadi korban karena kalah jumlah. Namun demikian fulan pun mengetahui secara jelas, siapa-siapa warga yang melakukan tindakan di kebun dan rumah majikannya. Apa yang bisa dilakukan oleh fulan ?
Berdasarkan analogi sederhana tersebut dapat kita konversi beberapa peran yang ada;
1. Fulan adalah petugas/instansi BKSDA
2. Majikan fulan adalah Negara
3. Warga adalah masyarakat sekitar kawasan konservasi
4. Kebun dan rumah majikan fulan adalah kawasan konservasi itu sendiri.
***
Pemerintah Daerah
Analogi diatas menunjukan banyak hal tentang gambaran kondisi riil di lapangan. Bagaimana ketidakberdayaan petugas instansi dan/atau instansi pemerintah terhadap pelanggaran tindak pidana. Menunjukan juga bagaimana pencurian dapat secara terang benderang dilakukan tanpa merasa mencuri. Pada konteks tersebut perlu ada sinergi antara instansi pemerintah pusat dalam hal ini melalui UPT BKSDA dengan pemerintah daerah setempat dari mulai tingkat Desa hingga Provinsi, khusus untuk pengelolaan masyarakat. Pengelolaan masyarakat tidak dapat diserahkan sepenuhnya ke sektor kehutanan, masyarakat merupakan tanggung jawab bersama, khususnya pemerintah daerah karena telah dimandatkan secara langsung oleh UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Gambar 1. Bunyi pasal 31 ayat 2 (b)
Gambar 2. Bunyi pasal 34 ayat 1 dan 3.
Gambar 3. Bunyi pasal 61 ayat 2.
Gambar 4. Bunyi pasal 65 ayat 1 (b)
Gambar 5. Lanjutan pasal 65 (penekanan pada point ‘d’)
Pasal-pasal pada gambar 1-5 merupakan bunyi pasal yang tercantum dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang tersebut yang menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk tata kelola pemerintahannya, termasuk masyarakat di dalamnya. Dasar tersebut juga menunjukan bahwa tanggung jawab masyarakat atau warga merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk masyarakat atau warga yang berada di dalam/sekitar kawasan hutan. Syaratnya hanya satu untuk diakui pemerintahan daerah setempat, yakni Kartu Tanda Penduduk (KTP). KTP merupakan identitas setiap warga Negara, KTP juga-lah yang dapat menunjukan siapa yang bertanggung jawab atas pemiliknya.
***
Tanggung Gugat
Balai Konservasi Sumber Daya Alam pada dasarnya dapat meminta ‘pertanggungjawaban’ kepada pemerintah daerah atas tindakan-tindakan warganya yang merusak kawasan hutan konservasi. Kondisi riil saat ini justru sebaliknya, pemerintah daerah melalui dinas-dinas dibawahnya seolah melempar bola pada BKSDA atas terjadinya kerusakan kawasan dengan dasar lemahnya ‘penjagaan kawasan’.
Disinggung sebelumnya juga bagaimana permasalahan penjagaan kawasan tersebut dengan analogi sederhana ‘si fulan’. Konsep penjagaan kawasan jelas tidak logis, perbandingan luas kawasan dengan petugas sangat tidak sebanding, kemudian penjagaan dengan sistem ronda di dalam kawasan, jelas butuh SDM dan dana yang tidak sedikit. Singkatnya pemasalahan penjagaan kawasan sangat tidak logis untuk menjadi penyebab terjadinya kerusakan kawasan.
Tugas pokok BKSDA hanya pengelolaan kawasan konservasi dan pengelolaan TSL baik insitu maupun eksitu beserta peredarannya. Artinya masyarakat bukan merupakan fokus BKSDA, walau demikian sektor kehutanan tetap mengurusi masyarakat sekitar kawasan sebagai sebuah langkah konkrit dari pada hanya mengutuk kegelapan.
***
Langkah Strategis
Jelas sudah bagaimana posisi dan kewenangan masing-masing pihak, tentu sekali lagi dari pada mengutuk kegelapan, lebih baik bersama mencari penerangan. Diulas sebelumnya bahwa KTP merupakan identitas sekaligus modal untuk identifikasi hingga pola sebaran masyarakat yang berada di dalam kawasan. Pada akhirnya dapat diketahui jumlah warga dari desa, kecamatan, dan kabupaten mana atau bahkan mungkin ada masyarakat yang tidak memiliki KTP daerah.
Langkah pertama
Inventarisir seluruh masyarakat yang berada di dalam kawasan. Secara teknis data apa saja yang akan dimasukan dapat diatur selanjutnya, tapi pointnya adalah mendapatkan data identitas (Nama, NIK, alamat) masyarakat di dalam kawasan. Pada akhirnya, akan jelas masyarakat yang bersangkutan terdaftar di desa mana, kecamatan mana, atau kabupaten mana.
Langkah kedua
Lakukan proses identifikasi, karena tujuan besarnya adalah penertiban perambah di dalam kawasan, tentu identifikasi yang berorientasi pada umur garap di kawasan perlu dilakukan untuk menghadirkan keadilan. Selanjutnya dibandingkan dengan tahun penetapan kawasan, mana yang lebih dulu. Pembuktian umur garap dapat dilakukan dengan menghitung umur tegakan yang dimiliki dalam kebun.
Proses inventarisir dan identifikasi perambah selesai, level penindakan serahkan kepada pemerintah daerah. Ada tiga pilihan penindakan yang bisa diambil, yakni ;
- Relokasi perambah;
- Dikeluarkan dari kawasan tanpa relokasi;
- Dilegalkan (dapat dalam bentuk enclave atau perubahan status kawasan menjadi APL atau bentuk lainnya yang mungkin).
Penjelasan:
- Relokasi perambah dapat berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan atau KPHP untuk menggunakan mekanisme pinjam pakai di kawasan HP.
- Dikeluarkan dari kawasan tanpa relokasi artinya kompensasi dalam bentuk lain yang sifatnya pemberdayaan masyarakat.
- Dilegalkan dalam bentuk enclave atau perubahan status kawasan menjadi APL atau bentuk lainnya yang mungkin artinya pemerintah daerah bersama dewan perwakilan daerah setempat yang bersurat pada kementerian.
Pada langkah ketiga ini sangat perlu ketegasan pemerintah daerah, tentu dengan langkah ini pun bola panasnya bukan lagi berada di BKSDA karena telah menyangkut warga masyarakat yang memang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk membina agar adanya peningkatan kesejahteraan dan juga ketertiban masyarakat.
***
Kesimpulan
Kerusakan kawasan hutan merupakan tanggung jawab bersama. Menilai bahwa sektor kehutanan dalam konteks ini BKSDA yang menjadi pihak tergugat dengan dasar lemahnya penjagaan kawasan jelas sangat tidak logis. Apabila ada program dari BKSDA terkait pengelolaan kawasan hutan yang berdampak negatif yakni rusaknya kawasan, maka patutlah mengamini bahwa BKSDA memang salah kelola, namun apabila kerusakan terjadi diluar dari kapasitas dan kewenangan 'tunggal’ BKSDA itu sendiri maka penilaian pun harus adil sesuai fakta dan aturan yang ada.sw/0317
Komentar
Posting Komentar