Ekologi Vs Ekonomi (Masyarakat ?)


Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kondisi daratan Babel dari atas pesawat. 
Sumber foto:  http://dycababel.blogspot.com/2011_01_01_archive.html

Mungkin sebagian kita sering mendengar kalimat tersebut ataupun membaca pada berbagai artikel yang tersebar di berbagai media cetak ataupun online. Ya.. itu adalah kalimat dari bunyi UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Bab XIV tersebut memiliki makna mendalam yang bagi ekonomi kerakyatan, ekonomi yang berbasis pada kemakmuran rakyat bukan untuk dikusai oleh sebagian tapi seluruh bagian dan lapisan, rakyat harus bisa menikmati hasil anugerah Tuhan atas kekayaan SDA Republik ini. Pada kenyataannya, UUD 1945 yang menjadi landasan bernegara di Republik ini hanya menjadi semu karena ternyata faktanya adalah kemakmuran tidak atau belum dirasakan oleh Rakyat. Menjadi ‘ironi’ besar di Republik ini yang mana Rakyatnya kelaparan di tengah ‘lumbung padi’.
Provinsi Bangka Belitung adalah salah satu dari banyak pulau di Republik ini yang diberi anugerah Tuhan atas SDA yang melimpahnya, yakni Timah. Bijih timah bisa dikatakan menjadi komoditi utama di kepulauan Bangka Belitung dengan produksi bijih timah pada 2005 mencapai 42.615,22 ton Sn dan logam timah 41.789 metric Sn (Indonesia Tanah Airku 2007 dalam Portal Nasional RI 2010). PT Timah Tbk menjadi pihak yang memiliki Kuasa Pertambangan (KP) terbesar yakni ±65% atau 486.455 ha yang tersebar diseluruh Bangka Belitung untuk wilayah darat. Selain itu ada pun pihak swasta yang memiliki Kontrak Karya (KK) yakni PT. Koba Tin seluas 41.000 ha, dan selebihnya bijih Timah di daratan Babel ini dimanfaatkan oleh perusahaan kecil dan masyarakat sekitar secara inkonvensional.

Potensi besar yang dimiliki kepulauan Bangka Belitung tersebut secara matematis hampir bisa dipastikan bahwa masyarakat Babel tidak akan ada yang miskin, bila mengingat bunyi UUD 1945 diatas. Namun pada kenyataannya tidak demikian, masih banyak juga masyarakat Babel yang bisa dikatakan miskin. Hal tersebut apabila dijabarkan dengan metode mudah saja yakni 5W+1H saja akan kembali bermuara pada masalah tidak dijalankannya UUD 1945. KP dan KK yang dimiliki PT. Timah Tbk dan PT. Koba Tin ini memaksa masyarakat sekitar untuk mencari lahan-lahan baru untuk dijadikan lahan tambang, termasuk kawasan hutan. Kawasan Hutan itu sendiri menurut UU 41 tahun 1999 memiliki definisi wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Makna dari pengertian menurut UU 41 tersebut adalah kawasan hutan (apapun fungsinya) harus tetap dipertahankan fungsi ekologis hutannya.  Bahkan hutan produksi sekalipun memiliki fungsi utama untuk dimanfaatkan hasil hutannya, dalam hal ini kayu atau non kayu.

Pengelolaan kawasan hutan khususnya yang berfungsi konservasi menjadi dilematis disaat melihat bunyi UUD 1945 dan fungsi pokoknya sendiri menurut UU 41. Mengingat begitu banyaknya perambahan dan tambang-tambang illegal di dalam kawasan konservasi bahkan yang sampai tidak tercatat karena keterbatasan cakupan wilayah kerja. Maka para pengelola kawasan hutan pun cenderung permisif pada kenyataan yang ada, karena bagaimana pun kekayaan yang dimiliki Negara adalah hak Rakyat untuk kemakmuran Rakyat walaupun dikuasai Negara sesuai dengan bunyi UUD 1945, namun dilain pihak masyarakat pun hanya memperkaya sebagian kelompoknya dan melanggar UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yakni Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Sering kali masyarakat umum terjebak dalam stigma tersebut, paham yang mana kekayaan Negara ini adalah untuk kemakmuran Rakyat, hal itu benar dengan asumsi seluruh Rakyat Indonesia, tidak sebagian kecil ataupun sebagian besar tapi seluruh Rakyat Indonesia. Bunyi pasal 33 bahkan menjadi pembenaran tindakan yang sebenarnya illegal, karena Negara ini butuh pengaturan dan peraturan yang harus ditegakan.
Harapannya masyarakat Indonesia, Babel khususnya lebih dewasa dan bijak dalam memahami makna dari bunyi UUD 1945 yang hakikatnya setiap peraturan memiliki ‘konsekuensi’ dan pengaturan memiliki ‘porsi’. Orang baik tidak memerlukan hukum untuk memerintahkan mereka agar bertindak penuh tanggung jawab, sementara orang jahat akan selalu menemukan celah di sekitar hukum (Plato 428 SM-348 SM).
Septian Wiguna, S.Hut,


Komentar

Postingan Populer