Ekologi Vs Ekonomi (Masyarakat ?)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kondisi
daratan Babel dari atas pesawat.
Sumber foto: http://dycababel.blogspot.com/2011_01_01_archive.html
|
Provinsi Bangka Belitung adalah salah
satu dari banyak pulau di Republik ini yang diberi anugerah Tuhan atas SDA yang
melimpahnya, yakni Timah. Bijih timah bisa dikatakan menjadi komoditi utama di
kepulauan Bangka Belitung dengan produksi bijih timah
pada 2005 mencapai 42.615,22 ton Sn dan logam timah 41.789 metric Sn (Indonesia
Tanah Airku 2007 dalam Portal Nasional RI 2010). PT Timah Tbk menjadi pihak
yang memiliki Kuasa Pertambangan (KP) terbesar yakni ±65% atau 486.455 ha yang
tersebar diseluruh Bangka Belitung untuk wilayah darat. Selain itu ada pun
pihak swasta yang memiliki Kontrak Karya (KK) yakni PT. Koba Tin seluas 41.000
ha, dan selebihnya bijih Timah di daratan Babel ini dimanfaatkan oleh
perusahaan kecil dan masyarakat sekitar secara inkonvensional.
Potensi besar yang
dimiliki kepulauan Bangka Belitung tersebut secara matematis hampir bisa
dipastikan bahwa masyarakat Babel tidak akan ada yang miskin, bila mengingat
bunyi UUD 1945 diatas. Namun pada kenyataannya tidak demikian, masih banyak
juga masyarakat Babel yang bisa dikatakan miskin. Hal tersebut apabila
dijabarkan dengan metode mudah saja yakni 5W+1H saja akan kembali bermuara pada
masalah tidak dijalankannya UUD 1945. KP dan KK yang dimiliki PT. Timah Tbk dan
PT. Koba Tin ini memaksa masyarakat sekitar untuk mencari lahan-lahan baru
untuk dijadikan lahan tambang, termasuk kawasan hutan. Kawasan Hutan itu
sendiri menurut UU 41 tahun 1999 memiliki definisi wilayah tertentu yang
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan
tetap. Makna dari pengertian menurut UU 41 tersebut adalah kawasan hutan
(apapun fungsinya) harus tetap dipertahankan fungsi ekologis hutannya. Bahkan hutan produksi sekalipun memiliki
fungsi utama untuk dimanfaatkan hasil hutannya, dalam hal ini kayu atau non
kayu.
Pengelolaan kawasan hutan khususnya
yang berfungsi konservasi menjadi dilematis disaat melihat bunyi UUD 1945 dan
fungsi pokoknya sendiri menurut UU 41. Mengingat begitu banyaknya perambahan
dan tambang-tambang illegal di dalam kawasan konservasi bahkan yang sampai
tidak tercatat karena keterbatasan cakupan wilayah kerja. Maka para pengelola
kawasan hutan pun cenderung permisif pada kenyataan yang ada, karena bagaimana
pun kekayaan yang dimiliki Negara adalah hak Rakyat untuk kemakmuran Rakyat walaupun
dikuasai Negara sesuai dengan bunyi UUD 1945, namun dilain pihak masyarakat pun
hanya memperkaya sebagian kelompoknya dan melanggar UUD 1945 pasal 33 ayat 1
yakni Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Sering kali masyarakat umum terjebak dalam stigma
tersebut, paham yang mana kekayaan Negara ini adalah untuk kemakmuran Rakyat,
hal itu benar dengan asumsi seluruh Rakyat Indonesia, tidak sebagian kecil
ataupun sebagian besar tapi seluruh Rakyat Indonesia. Bunyi pasal 33 bahkan
menjadi pembenaran tindakan yang sebenarnya illegal, karena Negara ini butuh
pengaturan dan peraturan yang harus ditegakan.
Harapannya masyarakat
Indonesia, Babel khususnya lebih dewasa dan bijak dalam memahami makna dari
bunyi UUD 1945 yang hakikatnya setiap peraturan memiliki ‘konsekuensi’ dan pengaturan memiliki ‘porsi’. Orang baik tidak
memerlukan hukum untuk memerintahkan mereka agar bertindak penuh tanggung
jawab, sementara orang jahat akan selalu menemukan celah di sekitar hukum
(Plato 428 SM-348 SM).
Septian Wiguna, S.Hut,
Komentar
Posting Komentar